Cerpen Bahkan

“Kasihan sekali ia. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Sampai gila ia sekarang.”
“Tapi memang setelah peristiwa itu, ia jadi jarang bicara dan bergaul dengan teman sebayanya.”

* * * 

Lima tahun berlalu sejak ia mengalami peristiwa yang amat buruk itu. Mendapat bekas luka sepanjang enam jahitan di dahinya, patah tulang hidung, dan bergesernya sendi bahu bukanlah apa-apa baginya. Trauma mendalam, dan luka di hatinyalah yang masih menganga, tak akan sembuh. Ia menjauh dari lingkungan sekitar, merasa tidak aman di ruang terbuka, takut dengan keramaian, takut dengan kegelapan. Bahkan sampai sekarang.
Tidak ada seorang pun yang bisa mendekatinya. Ia selalu menghindar bila ditanya mengapa, selalu diam bila ditanya dimana, selalu memiliki banyak alasan bila ditanya bagaimana. Bahkan oleh orang tuanya.

Dear Sam,
Sekolah tidak begitu menarik. Aku ingin kamu juga sekolah di sekolahku yang sama. Kebanyakan mereka hanya ingin tau, dan tidak ingin ambil peduli. Hanya ingin memenuhi hasrat ingin tau mereka.
Aku ingin bermain denganmu seharian, Sam!
Bahkan untuk selamanya.

     Ya. Sam Nerisis*. Sam adalah nama panggilan, sedangkan sejarah nama nerisis, dalam latin bertulis nereides, adalah anak-anak perempuan Nereus dan Doris, para Nymphs* dari Laut Mediterania. Ibu Sam ingin sekali memiliki anak-anak perempuan, maka dari itu semenjak ibu Sam mengandung, Sam sudah diberi nama belakang Nerisis.Sam adalah sahabat sejati yang selalu ada ketika ia memiliki masalah, musuh abadi dalam permainan, teman dekat dalam berkeluh kesah; satu-satunya. Bahkan hanya satu-satunya.

Dear Sam,
Aku merasa beruntung sekali dengan kamarku ini. Aku memiliki banyak sekali koleksi buku bacaan dari ayah dan ibu sehingga aku tidak perlu repot-repot keluar rumah. Mulai dari buku-buku dongeng Hans Christian Andersen,Charles Perrault, Grim bersaudara. Beberapa buku Sigmund Freud. Aku suka bukunya yang mengangkat cerita tentang Narkissos dari Mitologi Yunani. Ah! Iya! Aku paling suka dengan Cerita Dewa Dewi Yunani.

Buku tentang Mitologi Yunanilah yang paling aku suka. Kadang setelah aku menulis catatan harianku ini, tepat setelah ibu pulang dari kerjanya, ia segera masuk ke kamarku untuk menceritakan banyak sekali cerita-cerita tentang Mitologi Yunani.

Atau kadang ia bercerita mengenai dongeng si kura, juga sang penyu yang aku yakin Andersen, Perrault, atau Grim bersaudara tidak membuat cerita tentang itu. Aku juga yakin bahwa cerita itu hanyalah karangannya, ditambah lagi aku tidak mengerti maksud yang ia ceritakan. Tapi, ah, sudahlah. Toh, ia masih membawakan dongeng tentang dewa-dewi yunani, Yeaay!!

Kemarin Ibu menceritakan tentang petualangan Theseus yang bertemu dengan Ariadne dan meninggalkannya di Pulau Naxos untuk kemudian dijanjikan akan dinikahinya. Waah!! Aku tidak sabar lagi!!

Nah, Sam! Aku sudah mendengar suara pintu rumah terbuka. Ibu pasti sudah pulang. Aku juga sudah mengantuk. Selamat malam, Sam!

            Ayah dan Ibunya adalah karyawan di sebuah kantor, yang mengharuskan mereka berangkat dini hari dan pulang larut malam. Walaupun begitu, Ibunya selalu pulang lebih awal untuk bertemu dengannya dan membacakan cerita-cerita tentang Dewa dan Dewi Yunani; Mitologi.
Sebagai orang tua, Ayah dan ibunya amat sangat prihatin dengan kondisi psikologisnya. Ia adalah penderita Nyctophobia –takut gelap– dan trauma mendalam dengan keramaian. Bahkan dengan keluarganya sendiri.
            Mengenai traumanya, kisah ini berawal dari umur tujuh tahun. Mereka sekeluarga adalah keturunan kulit hitam, dan berada di tengah kerumunan kulit putih adalah hal yang cukup mengerikan. Ayah dan ibunya juga tidak jarang merasa tidak aman, bahkan di tempat kerjanya sekarang.
            Pelecehan di Negara mereka terhadap ras berkulit hitam bukanlah hal yang aneh. Maka dari itu, mereka berpindah-pindah apartemen dari tempat yang semula dekat dengan kantor orang tuanya, ke daerah yang cukup banyak berkumpul ras kulit hitam. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan. Bahkan lebih dari satu jam.
            Ceritanya berawal, ketika orang tuanya mendapatkan berita mengenainya yang sedang terkapar di jalan raya dengan luka memar dan patah tulang.Orang tuanya segera melarikannya ke rumah sakit terdekat, yang kebanyakan kulit putih tentunya, tapi tak jarang mereka mendapat penolakan, atau dengan dalih ruangannya penuh. Bahkan untuk seorang anak kecil yang sedang terkapar, mungkin sekarat.
            Ayahnya sudah berusaha memanggil psikolog terkenal di daerahnya, kulit putih tentunya, walaupun dengan harga perjamnya yang tinggi, tapi belum juga sembuh. Bahkan sampai sekarang. Tak jarang ayahnya ini marah-marah karena selain tekanan dari kantor, juga tekanan dari anaknya yang memiliki penyakit psikologis yang cukup parah.
Berbeda dengan ibunya. Ibunya tahu bahwa ia menderita penyakit psikologis yang cukup parah, juga beragam.Namun, ibunya sadar bahwa menangani penyakit psikologis seperti ini membutuhkan kesabaran yang tinggi. Maka dari itu, ia memberanikan diri meminta izin kepada bosnya agar pulang lebih awal, hanya untuk membuatkannya segelas susu dan membacakannya dongeng.
Setiap hari, tak jarang ibunya dibuat sedih oleh cerita-cerita para tetangganya bahwa mereka sering melihat anaknya berbicara sendirian di kamar. Berhubung kamarnya langsung menghadap jalan raya dan tirai kamarnya tak pernah ia tutup, karena takut gelap. Pada suatu hari Minggu, ibunya memergoki anaknya sedang berbicara dengan seseorang. Ibunya mengintip dari luar pintu kamar. Terdengar seru sekali. Jarang sekali ibunya mendengar tawa yang sampai terkekeh-kekeh. Sang ibu merasa damai dan tentram sekali hatinya saat mengetahui akhirnya anaknya memiliki teman yang bisa dibilang sangat akrab. Namun ibunya dikecewakan dengan keadaan anaknya yang sedang asyik sendiri, bermain dengan imajinasinya. Hanya ia dengan bayangan dari cahaya yang tirai serta jendelanya tidak ditutup. Ternyata para tetangga benar. Bahkan orang tuanya sendiri tidak mengetahui betul anaknya.

Dear Sam,
Aaaa terimakasih, Sam, atas hari ini. Kapan-kapan kita bermain ayunan di belakang rumahku lagi, yaa. Oiya, dan aku pun pasti akan mengalahkanmu dalam permainan catur berikutnya, juga kartu. Perlahan aku akan menguasainya dan mengalahkanmu, Sam!

Besok kita bermain origami, ya! Setelahnya kita bermain rumah-rumahan. Aku jadi tuan rumah, dan kamu jadi pembantunya. Hahaha

     Ya! Tingkahnya kini sudah keterlaluan dan semakin mencurigakan. Ia bermain ayunan di belakang rumah, dan memainkannya, sendirian. Bermain kartu yang setidaknya memerlukan dua orang pemain, juga memainkannya, sendirian. Bahkan bermain catur pun, sendirian.

* * *
“Sam! Entah kenapa pagi ini langit begitu gelap. Kau tak akan meninggalkanku, bukan?”

“Sam! Kau mulai sakit? Mengapa wajahmu terlihat begitu redup? Ayo kita main petak umpet lagi, ayo kita main kartu lagi, ayo kita mewarnai lagi!”

“Sam! Kau mau aku bacakan cerita mitologi yunani? Baiklah akan aku bacakan untukmu!”

“Sam! Ayo kita diskusi lagi! Aku menyukai lelucon-leluconmu saat kita sedang diskusi!”

 * * *  
“Sam! Aku mulai takut! Langit di luar sudah mulai lebih gelap! Kau juga takut gelap, bukan? Tenanglah! Aku sudah menyediakan senter dengan baterai yang masih penuh! Aku buatkan makanan supaya kamu baikan, ya? Aku ambilkan obat-obatan supaya kamu cepat sembuh. Aku bisa melakukannya sendiri kali ini, asalkan kau cepat sembuh.”

“Sam! Hujan di luar sudah mulai deras dan akan lebih deras lagi!”

 * * *
………………………………………………………………………………………………………..
……Duaarrrrr…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………..

“Sam! Tetanggaku bilang, gardu listrik di kota ini meledak karena korsleting listrik! Aku mulai takut. Untung saja kita masih memiliki Generator Set untuk menyokong daya listrik di rumah ini!”

“Astaga!!! Sam!!! Generator Setnya rusak karena kecipratan air hujan!!!”

* * *

“Sam!!! Kamu di mana, Sam?!??! Jangan tinggalkan aku!!! Aku masih memiliki senter dan kurasa cukup untuk memenuhi kebutuhan pencahayaan kita, Sam!”

“Sam!!!! Kemari temani aku lagi!!!

“Sam….!!!!!!!!”
* * *
            Ia meraung-raung memanggil-manggil nama Sam. Ia mulai menangis karena kejadian lima tahun yang lalu terjadi lagi. Saat ia merasa kesepian, ditinggalkan orang-orang yang ia andalkan. Saat ia mendapatkan bekas luka sepanjang enam jahitan di dahinya, patah tulang hidung, juga bergesernya sendi bahu. Ia adalah anak yang cukup pandai. Tak jarang ia mendapatkan peringkat satu di sekolahnya, tapi ia menjadi merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan teman-temannya. Traumanya juga membuat ia merendahkan orang lain karena dulu ia telah diinjak-injak. Apalagi dengan nilai-nilainya yang tinggi dan prestasi yang ia dapatkan.

* * *
“Sam!!! Aku takut!!! Kamu pergi kemana? Apakah kamu sedang ingin bermain petak umpet tanpa sepengetahuanku?!!? Kamu curang!! Baiklah! Aku mulai mencari di kamar menggunakan senter kita, tapi jangan bersembunyi terlalu jauh!!!”

“Sam!!! Di kamar kamu tidak ada!! Apakah kamu bersembunyi di kamar tidur ayah dan ibu?! Baiklah aku akan mulai mencari ke sana, tapi jangan bersembunyi lebih jauh!!!”

“Sam!!! Di kamar ayah dan ibu tidak ada!! Apakah kamu bersembunyi di kamar mandi?!! Baiklah aku akan mulai mencari ke sana, tapi jangan bersembunyi lebih jauh lagi!!!”

“Sam!!!! Di kamar mandi lantai atas dan lantai bawah kamu tidak ada!!! Apakah kamu bersembunyi di ruang tamu?! Baiklah aku akan mulai mencari ke sana, tapi jangan bersembunyi lebih jauh lagi dari ini!!!”

“Sam!!!! Di ruang tamu aku tidak bisa menemukanmu!!!! Apakah kamu bersembunyi di Dapur??!!!! Baiklah aku akan mulai mencari ke sana, tapi jangan bersembunyi lebih jauh lagi dari ini!! Aku mohon!!!”

“Sam!!!!! Astaga!!!! Di Dapur pun aku tidak bisa menemukanmu!!!!! Jangan buat aku mencarimu di Basement!!!! Kita sudah membuat perjanjian tentang tempat terlarang itu, atau kamu sudah mengubah perjanjiannya, Sam?!? Baiklah aku akan mulai mencari ke sana, tapi jangan bersembunyi lebih jauh lagi dari ini!! Aku mohon!!!”

“Sam! Di mana, kamu?”

            Kemudian ia berlari menuju kamarnya. Hujan di luar, tembus ke dalam dadanya. Meleleh, berwujud air mata. Ia berlari sampai sudah tak dihitung lagi jumlah air mata yang ia teteskan ke seluruh penjuru rumahnya. Sam yang dicintainya tidak dapat ditemukan.
            Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut sambil menyalakan senternya di dalam. Ia meraung-raung, menangis sendu memanggil-manggil Sam, meneriakkan nama ayahnya, meneriakkan nama ibunya. Ya, ia terinngat ibunya. Ia angkat telepon di kamarnya kemudian menelponnya. Namun sayang, jaringan telepon juga terputus. Ia tak dapat lagi mengandalkan sesuatupun untuk mengatasi ketakutannya, rasa sepinya, juga kesepiannya. Bahkan seorang pun.
            Ia meraung kesakitan, luka lamanya terbuka lagi. Ia kembali mengingat masa-masa kritisnya, saat tak ada seorang pun yang mau menerimanya, di lingkungan sekolahnya, di lingkungan rumahnya. Bahkan di lingkungan keluarganya.
Di tengah ketakutannya, di tengah-tengah kekalutannya, ia teringat tentang dongeng si kura dan sang penyu yang sejak lahir sudah berjuang untuk bertahan hidup; sendirian. Mereka hanya mengandalkan diri sendiri dan tidak bergantung kepada yang lain. Pesan inilah yang hendak disampaikan kepadanya, yang selama ini tidak ia hiraukan.

“Sejak dalam telur, si kura sudah berteman dengan dingin. Hujan ia kebasahan, panas ia kekeringan. Belum lagi ketika ia masih telur, ada manusia yang hendak memburu telurnya, binatang lain juga. Kesendiriannya belum selesai, Nak! Ketika menetas pun masih ada burung elang laut yang mengincarnya. Ketika di laut pun masih ada ikan hiu yang suka sekali memakan anak kura-kura. Tapi taukah kamu, bahwa kerasnya hiduplah yang membentuk mereka. Ia kuat dan menjadi pilihan alam. Ia sadar bahwa tidak ada yang betul-betul bisa diandalkan. Teman? Sahabat? Bahkan keluarga hanya datang sementara. Bayangkan bila mereka dimanja sejak kecil seperti kamu.. Hihi..”

            Ia meresapi kembali cerita-cerita ibunya. Semakin dalam. Jauh lebih dalam. Semakin dalam lagi, sampai raung tangisannya mereda.Tangisnya sendu.Sampai tangisnya berhenti, dan tangisnya pun terhenti. Ia tak merasa sepi lagi. Tak akan kesepian lagi.
            Ia sibakkan selimut yang lekat di tubuhnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia matikan senter yang menemaninya saat gelap tiba. Setiap orang memiliki momen-momen pertama-kali-dalam-hidup-nya, bukan? Ia biarkan kegelapan merasuki tubuhnya. Kemudian berjalan perlahan menuju jendela kamarnya. Ia perhatikan tiap tetes hujan yang membasahi tubuh-tubuh jalan. Kini perkataan ibunya sudah merasuk ke dalam hatinya. Ia sudah berteman dengan kegelapan. Ia sudah berteman dengan kesepian. Ia sudah berteman dengan kesendirian. Ia sudah berteman dengan dirinya sendiri, menyadari bahwa ia memang sendirian. Hanya berteman. Itu saja. Dengan perasaan tenang dan senyum tipis menghiasi wajahnya, ia berkata:

            “Bahkan bayanganmu sendiri meninggalkanmu dalam kegelapan”


                                                                                                                     Depok, 17 Desember 2014
                                                                                                           
















*Sam Nerisis= Representasi bayangannya = Steganografi dari Narsisisme

*Nymph adalah salah satu kaum dari makhluk legendaris yang berwujud wanita, tinggal di tempat-tempat tertentu dan menyatu dengan alam. Mereka diidentikkan dengan peri, atau bidadari yang tinggal di alam bebas. Mereka personifikasi dari alam, dan spirit dari tempat-tempat tertentu yang dapat ditemukan di alam liar, seperti sungai, pepohonan, air terjun, mata air, gunung, dan sebagainya. Nymph (Nimp) juga diartikan sebagai mahkluk gaib yang tidak memiliki jenis kelamin yang menempati surga. Bisa dibayangkan Nymph itu memiliki wujud lelaki namun berwajah seperti perempuan.

Komentar