Kering Berbasah

Tulisan ini mengandung konten yang berbahaya, tidak dianjurkan untuk membacanya tanpa pengawasan Tuhan.

Kering Berbasah

            Senja hari Minggu. Aku selalu menyukai senja hari Minggu. Tak ada yang mengalahkan senja di hari Minggu. Langit jingga kekuningan, menguningkan bebatuan, pepohonan, burung yang terbang, gedung-gedung di perumahan, bangunan-bangunan, menguningkan segala yang ada di bawahnya, menguningkan aspal jalan-jalan –menguningkan aku. Burung-burung berkepak kelelahan menuju peraduannya. Bulan mulai terbit diiringi matahari yang mulai tenggelam. Mata kejora mengintip malu-malu  dari langit timur yang agak kelabu. Dengan segelas mata kopi yang hangatnya menyala-nyala, kunikmati mata waktu yang mengalun merdu. Ah, senja hari Minggu, indahmu abadi tak mewaktu.
            Minggu senja yang indah ini,  harus kutinggal dengan melipat koran harian yang huruf-hurufnya berguguran di halaman, lelah kubaca pagi, berganti siang, berganti senja,  seharian. Kopi hitam yang nyalanya sudah padam, berganti dengan dedak yang mulai padat di dasar cangkir. Saatnya untuk pergi, bisikku  dalam hati. Belum selesai aku melipat koran, atau menyeruput kopi terakhir yang telah lama menunggu, biasnya menampakkan wajah sendu yang agak sayu. Seorang perempuan paruh baya yang masih segar bercahaya, rambut hitam berkilau seperti langit malam hari, juga matanya yang coklat kehitaman, ah, matanya, walaupun gambarnya agak samar memantul dari permukaan kopi yang nanar.
            “Bukannya sudah terlalu malam untukmu bergegas menancapkan gas menuju kota tempatmu bekerja? Kau semakin mirip dengan ayahmu!” ia menggerutu sambil merapihkan lipatan kemeja yang aku kenakan terburu. Ia selalu terlihat seperti itu akhir-akhir ini.
            Bukannya seperti itu, perjanjiannya kan memang seperti itu, aku jawab gerutuan manjanya dengan senyum madu. Manis, tapi tak mengundang semut-semut untuk menyerbu. Senyum yang hanya kupersembahkan padanya seorang, manusia lima milyar banding satu. Seolah di bumi ini hanya dia yang patut menerima senyumku itu. Dan memang begitu.
            Sebelum bergegas dari halaman untuk berangkat, aku kembali membenahi sepatu hitam mengkilat kulit lembu yang sudah disemir terlebih dahulu. Kaus kaki hitam polos setinggi tiga inci di atas mata kaki, cukup untuk menutupi bulu kaki. Celana bahan hitam yang garisnya tegas habis disetrika, dipadu dengan sabuk hitam polos crocodile. Siap sudah aku lepas landas dari bandara rumah dan segala hiruk pikuknya.
            Semenjak kepamitan ayah yang kini bekerja sebagai pelayar, suasana rumah menjadi dingin. Ayahlah matahari kami. Mentari pagi yang menghangatkan pepohonan, melelehkan embun dingin melelahkan, menguapkan kalut-kalut kami, mencipta pelangi di setiap mata kami, mengusir awan kelabu di hati kami. Setiap ada mata yang mendung, tak kuasa mata membendung, ayah selalu datang dengan sayap-sayapnya. Menyelimuti kami dengan peluknya yang hangat. Walau kadang beberapa sayapnya patah, atau bulu-bulunya rontok berjatuhan, karena membanting tulang menghidupi keluarga. Ayahlah itu. Malaikat berselendang cahaya yang memikat. Kami hanya sekumpulan serangga malam yang selalu datang karena auranya, kami terpikat.
            Ayah pamit demi kehidupan keluarga yang layak dengan janji uang perbulannya akan ia kirim langsung ke rumah.  Dan benar saja. Hanya beberapa bulan, ibu menutup usaha warungnya di rumah. Lahannya dipergunakan untuk memperluas ruang tamu, kemudian rumah kami dibuat bertingkat, kami memiliki garasi, mobil selera tinggi terbeli. Ada satu hal yang tidak kami miliki. Dan kami sadar akan hal itu.
            Kebahagiaan tidak bisa dibeli.
            Memiliki banyak uang tidak berarti sejahtera. Tidak memiliki uang tidak berarti miskin. Tapi istilah apa yang tepat untuk mereka yang memiliki banyak uang tapi tetap miskin. Istilah untuk kami.
            Belum lagi kekhawatiran mengenai kebahagiaan rumah selesai, datang pula kekhawatiran mengenai ayah yang menjelajah lautan. Aku dengar berita dari teman-teman ayah yang bekerja di daratan, menjaga komunikasi dengan mereka yang berada di lautan, bahwa ayah naik pangkat menjadi nahkoda yang hebat. Semua ombak ia lewati, badai apapun telah ia kuasai, dalam waktu singkat ayah menguasai ilmu tentang navigasi. Itu bukan berita baik bagi kami. Mereka merebut nahkoda kami. Kini bahtera kami kewalahan menerjang badai, terombang ambing di lautan lepas.
            Beberapa anggota keluarga kami memang sudah ada yang menikah. Abang-abangku sudah berbahagia menjadi nahkoda, melayari laut dan mendirikan bahtera mereka sendiri. Aku. Ya, bisa dibilang seperti itu juga. Sementara adikku sebentar lagi lulus dari akademi keperawatan. Syukurlah.
            Walaupun ayah memiliki aura malaikat, tapi kami, lelaki yang ia didik lebih banyak di bawah cakarnya, daripada sayapnya, merasa kepamitan ayah adalah perayaan kecil dan miniatur proklamasi kemerdekaan bagi kami, para lelaki. Walaupun ayah memiliki sifat yang begitu lembut dan hangat, ia juga memiliki sifat-sifat kakek yang di tahun ’44 gugur di medan perang sebagai pahlawan kemerdekaan. Kakek mendidik ayah dengan keras, disiplin, tegas, untuk mengenalkan sifat-sifat berdedikasi tinggi, tekun, jujur, dan ulet. Sifat-sifat itulah yang membawa ayah sampai ke puncak karirnya.
            Tapi kami tidak hidup di zamanmu, Yah!
            Seolah kami sepakat ingin meneriakkan itu ke dalam telinganya. Sebetulnya kehadiran ayah di rumah hanya membuat kami bertiga muak. Dan mirisnya, hal itu juga yang mendorong kakak tertuaku untuk menuntaskan kuliahnya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya selama tiga setengah tahun. Sekarang ia bekerja untuk kedutaan besar Indonesia di Rusia. Selamat, Bang! Ucapku padanya saat ia meraih gelar sarjana humaniora. Selamat karena Anda telah lepas dari belenggu yang mengikat di rumah. Abangku yang kedua mendapatkan gelar sarjana seni di salah satu institut ternama di Indonesia dari Fakultas Seni Rupa dan Desain. Sekarang ia membuka pameran dimana-mana. Tiga bulan setelahnya, ia menikah dengan perempuan, anak dari seorang direktur utama perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia. Siapa sangka ia pencinta seni dan pengagum karya-karya abangku itu. Pak Dirut kemudian mempersembahkan putrinya untuk dipinang oleh abangku. Hebat sekali, selang setahun saja aku sudah mengucapkan selamat kepada kedua abangku yang sudah lepas dari belenggunya. Beruntungnya aku, karena sekarang Ayah yang pamit dari rumah.
            Seberapa sayangnya kami terhadap ayah, masih lebih besar rasa benci kami karena kesalahannya dalam mendidik anak-anaknya. Ya, kesalahan orang tua zaman ini adalah pemikiran mereka yang berkata bahwa mungkin cara yang sama akan menghasilkan produk yang sama. Bila aku memiliki kesempatan dan keberanian untuk mengutarakan pendapatku padanya, aku akan berkata bahwa keluarga bukanlah sebuah pabrik karet yang memiliki cetakannya sendiri, sehingga bisa membuat puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan sarung tangan karet yang sama. Aku lebih condong berpikir bahwa keluarga adalah sebuah pabrik porselen sederhana, yang menghasilkan vas bunga yang berbeda-beda, atau guci yang bentuknya tiada dua, bergantung pada kelembutan dan kasih sayang yang tercurahkan dari sejumput tanah liat. Dingin tapi hangat.
            Ayah hanya menduplikasi dirinya ke dalam tiga bentuk manusia, yang ketiganya bisa kunilai adalah produk yang gagal, dari awal. Bentukan dari kesalahan mendidik. Yang terbentuk malahan sebuah bumerang antik yang menghantam kepala tuannya sendiri.
            Dari dalam, perempuan cantik yang kupuja sedari kecil itu mengambilkan jaket untuk kukenakan dalam perjalanan. Aku jatuh cinta padanya. Dan pada akhirnya aku memilikinnya. Memiliki malamnya dari Sabtu malam sampai senja hari Minggu. Senja yang tak pernah layu. Aku bisa dibilang sedang belajar menjadi nahkoda pengganti ayah. Untuk kedua abangku, mungkin ayah gagal menempa mereka, tapi tidak denganku. Aku bisa berterimakasih pada ayah. Ayah berhasil mendidikku menjadi orang seperti ayah walau hanya menjadi penulis lepas di sebuah koran yang cukup ternama. Aku bisa memenuhi kebutuhan hidup keluargaku saat ini.
            Aku berpamitan dengannya. Perempuan paruh baya yang masih muda cantik terawat. Aku membubuhkan kecupan di pipinya, di keningnya . . . di bibirnya. Aku berangkat, Bu. Sabtu yang menyenangkan, senja di hari Minggu yang memuaskan. Besok aku ke sini lagi, jangan merindukanku terlalu cepat, Bu.
I love you!”
“I love you too!”

Maaf aku telah berkhianat. Bukankah kau menginginkan ini, Ayah?

Komentar