Minggu Kelabu
Semalaman,
sudah. Semalaman. Bayangmu dan bayangku tak bersalaman. Kalian bertengkar,
kalian biarkan aku terkapar. Aku memiliki jam, tapi waktu yang memiliki aku.
Setiap tik jantungku berdegup. Setiap tik darahku berdesir. Setiap tik nafasku
terhela. Tapi kau tak berada di dalamnya. Aku tenggelam di kedalaman waktu.
Pelupuk mataku merindukan peluk tubuhmu. Raungan tubuhku merindukan lekuk
tubuhmu. Bibirku haus merindu untuk singgah minum di bibirmu. Semalaman.
Aku
yang merindumu, tapi hanya bisa bercinta dengan bayangmu. Hadirmu tenggelam di
kedalaman mataku. Kaukah itu. Itukah kau. Segenap pikiranku menerima bayangmu.
Segenap tubuhku tak sepakat tentang itu. Tubuhku menggigilkan pelukmu.
Jantungku mendegupkan darahmu. Jemariku menggenggamkan namamu. Dan kau tetap
tak di sana. Semalaman.
Berikan
aku jam dinding tanpa jarumnya, tanpa angkanya. Kau berikan aku jam dinding
lalu kau tusukkan jarumnya pada jantung hatiku. ’Tik’ pertama kau tusukkan ke
dalam jantungku. ‘Tik’ kedua kau tusuk hatiku. ‘Tik’ ketiga aku tak punya
jantung hati lagi. Seperti itulah kau buat aku menggila. Tak punya jantung hati
lagi.. Dan kau datang meminjamkannya. Tapi tetap tak kau berikan padaku jarum
jam penunjukmu, atau angka penunjuk waktu. Aku sudah mati di awal, hanya saja
aku belum sadar.
Tetiba
kau datang memberikanku mawar putih kecil berduri. Dara, akulah mawar itu.
Mawar kecil yang bisa kau simpan dimana saja. Di pelataran tubuhmu, atau gincu
temanmu bersolek, atau kau letakkan entah dimana. Kusediakan warna putih dalam
tubuhku, agar ketika kau sedih, biar kau gambar di atasnya, biar aku yang
mewarnainya. Aku mawar yang melucuti durinya sendiri, agar ketika kau genggam
aku, kau tak terlukai.
Semalaman
aku berdiskusi dengan malaikat pengasuh kesedihan. Hitam yang merawat atap-atap
langit yang lanskap. Ia berkata bahwa bukankah butuh hitam untuk melihat
bintang gemintang gemerlap. Aku bertanya padanya bolehkah aku memetik satu
bintang untuk kuhadiahkan padamu, Dara. Ia memberiku kunang-kunang, maka gemerlaplah
matamu. Aku minta padanya bintang yang jatuh terkapar di pelataran langit untuk
kuhadiahkan padamu, Dara. Maka berkibarlah rambutmu yang indah. Aku banyak
meminta padanya, Dara. Ia tidak meminta untuk mengembalikannya, ia minta satu
hal. Kau, Dara. Dara yang matanya gemerlap bagai bintang, yang rambutnya indah
berkibaran, wajahmu yang rembulan. Ia jatuh cinta padamu, Dara. Kau tahu yang
terburuk apa? Kau semestaku, yang telah menjadi semestanya. Ia takkan pernah
berniat mengembalikanmu padaku, Dara. O! Dara…
Aku
meratap. Menangis di atas atap. Menangis karna tak punya lagi atap. Yang
meneduhkanku kala hujan menderap. Aku menangis. Merindumu dalam tangis. Tangis
yang merindu jemarimu mengusap. Akankah mereka marah bila aku menyusulmu?
Aku
menghabiskan minggu kelabu dalam bayangmu. Aku dan jantung hatiku sepakat untuk
mengakhirinya. Kau tau, Dara? Aku dan jantung hatiku segera menyediakan lilin
dan doa-doa atau puji-pujian yang aku tahu. Aku ingin mereka tahu bahwa aku
rela meninggalkan tubuhku demi jiwaku dan jiwamu bersatu. Kembali. Lagi. Entah
bodoh. Entah nekat. Entah aku sudah gila. Aku tidak peduli tentang penilaian
mereka. Satu pesanku padamu, Dara. Jangan sampai mereka tau dan menitikkan
airmata.
Kematian
bagiku bukan lagi mimpi, tapi kehidupan selanjutnya yang harus kujalani. Dalam
kematian, biar ku belai lagi engkau. Biar ku peluk lagi tubuhmu. Biar kubasahi
lagi bibirmu. Biar aku miliki lagi jiwamu. Dalam kematian, akan kubelai kau,
Dara. Dengan napas terakhir jiwaku, biar aku yang memberkatimu.
* * *
“Astaga!”
“ Ternyata aku hanya bermimpi! Dalam
mimpiku, hatiku bercerita tentang seberapa besar aku menginginkanmu.”
“Aku terbangun dan menemukanmu terlelap di
palung hatiku, Dara!”
“Dara! Aku
harap mimpiku tak pernah menemuimu!”
Depok, 4 Desember 2015
Komentar
Posting Komentar