Cerpen Ibu Hujan

Ibu Hujan

            Hujan. Menghujani aku. Jarumnya merintik menelusup ke bagian dalam dari tubuhku yang entah apa. Yang aku tahu, semuanya meleleh dari sudut mataku. Karena hujan ini, dari langit yang hitam menganga, tak seperti hujan-hujan sebelumnya. Bias senja tertahan di luar dengan remang tercekat. Aku menyaksikannya dari balik jendela yang membingkai langit senja dengan segi empatnya. Langit-langit kamarku, sudut-sudut kasurnya, menghitam pekat seperti ketika aku memejamkan mata. Seisi kamarku melarut menjadi semedan hitam. Hitam dengan gelap yang menyala dan siap untuk melahapku.
            Banyak bayangan yang tercipta. Yang datang tidak putus-putusnya, sambung menyambung seperti hujan di bulan ini . . . Bayangan demi bayangan datang menghitamiku. Rak buku berbayang, meja belajar membayang, tempat tidurku, semua melayang ke dalam satu ruang di kepalaku. Tapi ada yang bayangnnya kuat. Bayangan yang hampir ku ingat, dan menolak untuk terlupa. Bayangan yang entah apa. Hampir hitam tidak putih.
            Sekeliling hening. Lebih bening dari air mataku. Sekitarku lengang. Tapi tiddak lebih renggang dari hatinya ke lukaku. Raung kucing hutan tiba-tiba datang dari kejauhan. Lalu sayup-sayup suara Tongeret lamat-lamat masuk. Lagu rawa yang dinyanyikan kodok-kodok setelah hujan lambat-lambat merasuk. Bambu-bambu di hutan karet berteriak bergesek. Derai-derai cemara ditingkap merengek. Motor dua tak yang mesinnya dimatikan untuk berteduh. Ah, iya. Aku lupa berteduh. Dari riuh-riuh bayangan yang jarumnya menghujan menghujam.
             Tampias hujan, memercik ke dalam halaman. Beringas. Bunyi jarum jam mendadak memekak gendang telinga. Tiba-tiba aku dilanda ketakmengertian detakannya yang membabibuta menggilas waktu, menindas aku, terus berputar dalam lingkaran kegelapan, tak berkesudahan, menolak tidur, menderu telingaku yang sekarat ingin tidur. tik tik tik berlari mengejar detik, keheningan kian meriuh, tik tik tik kian meresahkan, seperti menyimpan hulu ledak yang tersimpan di dalam lingkarannya yang menderak.
            Tetapi ada satu hal dalam hujan ini. Sesuatu yang tidak bisa kunamai. Sesuatu yang terasa begitu mengganggu. Rasa penuh yang siap kumuntahkan walau rahangku sudah kupatahkan. Begitu penuh hingga mereka beranak pinak, semakin banyak. Seperti bakteri-bakteri yang membelah diri menjadi lebih dari berjuta, seperti sebuah titik-titik gerimis yang bergabung menjadi hujan, seperti atom-atom hydrogen dan helium dalam matahari yang melepaskan berjuta ton energy, merasuk ke atmosfir bumi. Sebagian juta ada yang keluar menggantung di atas awan, sebagian juta lagi rebah ke tanah, sebagian juta lagi tertanam ke dalam tubuh tumbuhan. Bercampur dengan oksigen, bercampur dengan nitrogen, bercampun dengan gen-gen lain yang entah apa. Sesuatu itu merapat, makin erat, kian mampat dan enggan lepas dalam tempat.
            Sesuatu yang entah apa. Tapi ada. Aku yang tak ada. Rasanya aku seperti menyedihkan kesedihan itu sendiri. Inikah yang dinamakan terpuruk, atau ada lagi yang lebih buruk. Kegelapan. Atau genap keduanya menjadi terpuruk dalam kegelapan. Terpuruk ini lebih dari sekdear dikecewakan, atau dijauhi, atau lainnya yang berhubungan dengan emosi. Terpuruk ini seperti kesedihan yang sering kau akrabi, lebih seperti pesakitan.
Pernahkah kau merasakan? Tubuhmu menggigil bukan karena kedinginan, matamu terasa panas nanar tapi tidak terbakar. Kau memejamkan kelopak matamu, bulu matamu bergerak-gerak, menyapu gelisah kelopak matamu yang mengatup kuat, urat-urat di tepian matamu meregang seperti kabel listrik tegang yang hendak putus. Menggumul di tepian matamu, tak kuasa kau lawan. Apa-apa yang telah kau bendungkan selama ini. Lalu matamu bagaikan keran berkarat yang tak mampu lagi menjadi katup, Matamu merah membara yang bukan marah, melelehkan pelan isi bendungan air mata. Air mata dukamu bersuka ria merayakan kebebasannya, hening berpesta pora mendeklarasikan keemerdekaannya, tahu rute perjalanannya: menyeberang hidung, melintasi pipi dan rahang, jatuh ke atas bantal. Satu demi satu, jatuh bebas jatuh getir, menepikan seluruh bayangan demi bayangan.
            Kau menangis hampir tanpa suara, wajahmu dengan mata yang kian sembab bertumpu di atas bantal yang lembab. Entah berapa lama. Lalu ada kelesuan. Kau menggigil, sesenggukan sesekali, sambil terbebat dengan lesu kelamaan menangis. Dalam gelap, sisa air matamu jatuh satu, berkilau. Dan kau menepi. Mencari mimpi.
            Tapi adalah hujan, sang perekam kenang, kau belum lagi tahu. Adalah hujan yang memahami laramu, mengasuh sedihmu, menyeka pipimu, bagai seorang ibu.



Garut, 7 Januari 2015
Shiddiq Al-Hikam

Komentar