Kita adalah makhluk yang gemar terluka. Entah itu yang disengaja, tak
disengaja, yang begitu saja maupun yang terencana. Aku jatuh, engkau
jatuh, ia jatuh, kita terjatuh, lalu setelahnya jangan salahkan jika
kita sama-sama terluka. Luka yang besar, yang kecil, kita tak
mempermasalahkan hal itu. Yang kita permasalahkan adalah seberapa
dangkal dan dalamnya luka itu; yang mana setelahnya kita bergantung
dan mengandalkan waktu.
“Time can heal anything” ia berkata lemah, lembut tak terjamah.
Ya, aku setuju. Aku membatin
Kata-kata itu terdengar akrab di telinga, pernah aku kenali seperti
sahabat lama yang datang kembali. Hanya saja kata-kata itu terdengar
berbeda ketika keluar dari mulutnya. Ia berkata bahwa waktu bisa
menyembuhkan segalanya? Aneh. Waktu adalah hal yanng stagnan, pasti,
tidak berubah, rigit, kaku. Ia tak seperti bos di sebuah perusahaan
yang se-kaku-keras-kepala-atau-apapun-itu tapi masih bisa
berkompromi, diskusi kecil mengenai keringanan atau kenaikan gaji.
“Time is gravity” sambutku dalam hati.
Waktu adalah grafitasi. Ia mampu menarikmu dengan kuat ke langit,
kemudian menjatuhkanmu dengan sengit. Apannya yang menyembuhkan?
Bom waktu? Tergilas waktu? Waktu (ketika) itu? Apanya yang
menyembuhkan?
“Aku sudah sembuh, disembuhkan waktu”
Tidak mungkin. Kau sembuh karena minum obat, makan teratur, dan
cukup istirahat. Tidak ada ceritanya kita datang ke apotik
menyodorkan uang seratus ribu rupiah kemudian berkata, “Mbak, beli
waktu satu strip. Kembaliannya silahkan simpan saja”
Waktu membuat kerut di sekitar mata, kantung mata bergelambir, kerut
di mana-mana, stretch mark? Aarrgghh….itu semua mimpi buruk.
Lalu, apanya yang menyembuhkan? Bagian mana yang tersembuhkan?
Pada akhirnya, kita sebagai manusia harus menggubah apa-apa yang
tidak kita harapkan, menyederhanakan apa-apa yang rigit, kaku, atau
entah apa itu; semisal waktu yang tidak lebih dari gerak bumi
terhadap matahari yang berjarak 1 SA (satuan astronomi), gerak
grafitasi pagi siang sore malam dan tidak ada esok; sebab esok
bukan hari baru, hanya garis pada timur, bekas putih yang agak
panjang dari 24 jam yang pergi.
Semisal
waktu, ialah guru. Yang mengajarkan bagaimana cara menyarikan pahit
kehidupan, memeras darah makna dari daging kata-kata sekarat yang
hampir mati, untuk mengalir jadi puisi-puisi yang tak lagi melulu
tentang sepi.
Semisal waktu, ialah kita para
pelajar, belajar dari sang
guru untuk terbiasa merasakan sari kehidupan yang masih pahit,
membisikkan kata-kata yang
sedang sekarat tentang makna-makna surgawi supaya mereka yang
terbuncah bisa mencicipi anggur di sungai-sungai nirwana yang tidak
memabukkan, untuk bertemu penyair-penyair yang telah mati.
Semisal waktu, ialah ibu. Yang
membuatkanmu susu cokelat hangat saat hujan melebat, memahami laramu,
mengasuh sedihmu, menyeka pipimu, yang menyelimuti tidurmu, lesap ke
dalam mimpimu.
Thanks to:
Goenawan Mohamad, dan Nukila Amal
Komentar
Posting Komentar