8 tahun? Siapa sangka?

Banyak!!!

Aku sudah tidak lagi sendirian, punya istri yang cantik, dan sebentar lagi jadi ayah??

Terlalu banyak memang. Sudah sekian niat aku coba untuk mengisi blog ini, mengusir gembel-gembel yang nyaman tidur di halamannya, atau sekadar membersihkan sarang laba-laba yang sudah menumpuk di sudut-sudutnya.

Apa akan ada kekosongan berikutnya?

Entahlah!

Sore ini, satu bahagia sudah terwujud. Di halaman kantor, tepat di bangku depan pos satpam, aku berbincang sedikit dengan rekan kantorku dengan sebuah pertanyaan lama yang selalu baru dan berubah-ubah jawabannya. Dia bertanya,

"Mas, gimana sih cara kita bahagia?"

Cukup menohok dan langsung punya tujuan. Aku sempat berpikir sejenak, "Jawabanku harus memuaskan atau setidaknya bisa menjadi bekalnya di kemudian hari."

Tapi, semakin aku mencari-cari, semakin aku menggali-gali, aku tidak menemukan satu kata pun kata-kata yang memuaskan. Di tengah pencarian kalimatku itu, ada hati kecil yang berbisik, "Tak perlu bertingkah seperti seorang filsuf yang mengerti tentang kebijaksanaan dunia. Jadilah dirimu! Dan akhirnya aku memulai percakapan kurang lebih seperti ini:

"Bahagia atau tidak, bergantung pada bagaimana caramu memandang dunia!"

Sebuah awal percakapan yang luar biasa, pikirku. Tapi apakah kalimat itu cukup? Apakah dia mengerti maksud tersembunyi dari kalimat itu? Dan pertanyaan pertama pun muncul:

"Hah? Maksudnya gimana tuh, Mas?

Sebuah respon yang wajar menurutku. Justru dengan pertanyaan ini, kita bisa menjalin benang-benang diskusi. Kemudian aku lanjutkan seperti ini:

"Bahagia itu hadiah yang cuma datang sesekali. Justru karena datangnya sesekali, makanya namanya hadiah, kan? Kalau kita gali lagi maknanya, yang datang sesekali dan hadiah, punya satu kesatuan elemen yang sama, apa itu? Elemen Kejut. Sebuah elemen yang tidak pernah kita sangka-sangka kedatangannya."

Aku merasa sudah mengantarkan sebuah elemen kejut ke dalam pikirannya yang aku harapkan sebagai sebuah elemen kejut yang bisa mengantarkan sedikit rasa bahagia. Tapi, ternyata kalimat itu masih terlalu sulit untuk ia cerna. Tak apa, pikirku dalam hati. Aku pun menyadari raut wajahnya yang semakin mengkerut berusaha mencerna kata-kata itu sampai aku menodongkan sebuah pertanyaan padanya:

"Lantas, hal-hal apa yang membuatmu sedikit saja merasa bahagia?" 

Sesaat waktu terasa berhenti seiring alisnya memicing berpikir keras menggali memorinya selama hidup sekian tahun. Angin berhembus sedikit membawa debu-debu Jakarta dan dedaunan kemarau yang kering berserakan di halaman kantor, mencoba menyadarkannya dari lamunannya dalam menggali memori bahagia yang pernah ia alami. Sampai suasana sore itu terpecah dengan sebuah kalimat tanya:

"Apa, ya, Mas?"

Sambil senyumnya sesekali tersungging menahan malu karena tak bisa menemukan kalimat yang menurutnya sepadan dengan pertanyaan yang telah kutodongkan. Tapi aku paham. Manusia terlalu lucu memang ketika sedang berpikir, menggali-gali memori, mengacak-acak berkas-berkas ingatan yang tersimpan di pikiran, sampai-sampai seolah menambah kebingungannya lagi karena pertanyaan seputar bahagia tidak ia temukan. Aku tersenyum sambil menerka-nerka 'harus dari mana aku membuka jalan?', kemudian aku redakan sedikit kebingungannya dengan sebuah analogi seperti ini:

"Buat aku, percakapan kecil seperti ini merupakan sebuah kebahagiaan kecil yang aku dapatkan hari ini." kataku meyakinkan.

"Hah? Kok bisa?" ia terkejut.

"Ya, tentu saja. Bagaimana tidak?" tanyaku, "Sesaat lagi, setelah kita berdua sama-sama masuk lagi melewati pintu kantor itu.." aku menunjuk ke arah pintu kantor yang sedang terbuka karena tamu sebelumnya sepertinya terburu-buru ketika masuk dan lupa menutupnya, " ..kita sudah berada di dunia yang berbeda. Aku dengan kesibukanku, begitu juga denganmu!"

Aku melihat sedikit kebahagiaan menyeruak dari wajahnya yang bening.

Tapi, begitulah bahagia. Datangnya sesekali, dan kadang lupa jalan pulang.

Kepergiannya meninggalkan kerinduan yang paling palung.

Sebuah rasa bahagia muncul lagi ketika kami berbagi pengalaman tentang ketertarikan kami di dunia kepenulisan. Saat itulah aku merujuk lagi blog ini. Sama-sama menyemangati untuk menekuni bidang menulis.

"Because, writing does heal"

Komentar